🌍 Harapan Baru bagi Iklim Dunia: Emisi Global Bisa Mulai Turun Jika Janji Negara Dipenuhi

 



Pendahuluan

Selama bertahun-tahun, dunia terus bergulat dengan masalah terbesar abad ini: perubahan iklim. Suhu bumi yang terus meningkat, cuaca ekstrem yang makin sering terjadi, dan mencairnya es di kutub menjadi tanda nyata bahwa krisis iklim bukan lagi ancaman masa depan — melainkan kenyataan yang sedang kita hadapi sekarang.

Namun, laporan terbaru dari badan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) membawa secercah harapan. Laporan tersebut menyebutkan bahwa jika seluruh negara menepati janji iklim mereka, maka emisi gas rumah kaca global bisa mulai menurun secara bertahap dalam 10 tahun ke depan.

Walau demikian, para ilmuwan dan pejabat PBB mengingatkan bahwa langkah tersebut masih jauh dari cukup untuk menahan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5°C, batas aman yang disepakati dalam Perjanjian Paris tahun 2015.


Apa yang Dimaksud dengan Rencana Iklim Negara?

Dalam konteks global, setiap negara peserta Perjanjian Paris wajib menyerahkan dokumen resmi yang disebut Nationally Determined Contributions (NDCs).
Dokumen ini berisi target, strategi, dan kebijakan nasional untuk menekan emisi karbon serta beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim.

Sebagai contoh:

  • Negara maju seperti Uni Eropa menargetkan pengurangan emisi hingga 55% pada tahun 2030 dibandingkan level tahun 1990.

  • Amerika Serikat berjanji menurunkan emisi sekitar 50–52% pada tahun 2030 dibandingkan tahun 2005.

  • Sementara itu, negara berkembang seperti Indonesia berkomitmen menurunkan emisi sebesar 31,89% dengan usaha sendiri, dan hingga 43,2% jika mendapat dukungan internasional.

Laporan UNFCCC 2025 meninjau kembali seluruh NDC terbaru dari lebih dari 190 negara. Hasil analisis menunjukkan adanya tren positif, terutama karena semakin banyak negara yang memperbarui targetnya dengan ambisi lebih tinggi dibandingkan laporan sebelumnya di tahun 2022.


Emisi Global Mulai Mendatar, Tapi Belum Menurun

Salah satu temuan paling menarik dalam laporan ini adalah bahwa emisi global tampak mulai “mendatar”. Artinya, pertumbuhan emisi tahunan tidak lagi meningkat tajam seperti dekade sebelumnya.

Namun, mendatar bukan berarti menurun. Saat ini dunia masih memproduksi sekitar 56 gigaton CO₂ ekuivalen per tahun, dan angka ini harus turun menjadi sekitar 33 gigaton pada tahun 2030 agar dunia tetap berada di jalur pemanasan 1,5°C.

PBB menyebutkan, jika seluruh janji dalam NDC terbaru benar-benar dilaksanakan sepenuhnya, maka emisi bisa turun sekitar 5–9% hingga tahun 2035. Meski penurunan itu signifikan, tetapi tetap belum cukup untuk mencapai target yang disepakati dalam Perjanjian Paris.


Mengapa Target 1,5°C Sangat Penting?

Target 1,5°C bukan sekadar angka simbolik. Menurut Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), kenaikan suhu global lebih dari 1,5°C akan membawa konsekuensi serius bagi ekosistem dan kehidupan manusia.

Jika pemanasan global melewati batas itu:

  • Gelombang panas ekstrem akan meningkat drastis dan menyebabkan lebih banyak kematian akibat suhu tinggi.

  • Kekeringan dan banjir besar akan terjadi lebih sering, mempengaruhi ketahanan pangan dunia.

  • Es di kutub akan mencair lebih cepat, mempercepat kenaikan permukaan air laut yang mengancam jutaan penduduk pesisir.

  • Banyak spesies tumbuhan dan hewan bisa punah karena hilangnya habitat alami.

Dengan kata lain, menjaga suhu global di bawah 1,5°C bukan hanya soal lingkungan — ini juga tentang keberlangsungan hidup manusia di masa depan.


Faktor Penghambat: Janji Tidak Selalu Diikuti Aksi

Meskipun laporan PBB menunjukkan potensi penurunan emisi, realitas di lapangan masih jauh dari ideal. Banyak negara yang memiliki kesenjangan besar antara janji dan tindakan nyata.

Beberapa faktor utama yang menjadi penghambat adalah:

  1. Ketergantungan pada energi fosil.
    Batubara, minyak, dan gas masih menjadi sumber energi utama di banyak negara, terutama negara berkembang yang belum memiliki infrastruktur energi terbarukan yang kuat.

  2. Keterbatasan pendanaan hijau.
    Transisi ke energi bersih memerlukan investasi besar. Negara miskin sering kali kesulitan membiayai proyek energi terbarukan tanpa bantuan finansial dari luar negeri.

  3. Kepentingan ekonomi jangka pendek.
    Beberapa negara enggan memangkas produksi minyak atau batubara karena khawatir terhadap dampak ekonomi dan sosial, seperti pengangguran atau inflasi.

  4. Kurangnya koordinasi internasional.
    Walaupun Perjanjian Paris menekankan kerja sama global, implementasinya masih terhambat oleh perbedaan kepentingan antara negara maju dan berkembang.


Harapan: Teknologi dan Inovasi Hijau

Laporan UNFCCC juga menyoroti pentingnya teknologi rendah karbon dalam mempercepat transisi menuju masa depan yang berkelanjutan.
Beberapa inovasi yang mendapat perhatian besar antara lain:

  • Energi terbarukan: harga panel surya dan turbin angin turun lebih dari 80% dalam satu dekade terakhir, membuatnya lebih kompetitif dibanding bahan bakar fosil.

  • Kendaraan listrik (EV): diperkirakan 1 dari 3 mobil baru yang terjual pada 2030 akan berbasis listrik penuh.

  • Teknologi penangkapan karbon (CCS): digunakan untuk menyerap CO₂ dari industri berat seperti semen dan baja.

  • Pertanian berkelanjutan: penggunaan pupuk organik, rotasi tanaman, dan teknologi irigasi pintar untuk mengurangi emisi metana dan nitrous oxide.

Dengan kemajuan teknologi yang pesat dan biaya yang menurun, para ahli menilai bahwa transisi menuju ekonomi hijau kini lebih mungkin dari sebelumnya, asalkan ada dukungan kebijakan yang kuat.


Dukungan Finansial Global Masih Jadi Kunci

Salah satu poin penting dalam laporan PBB adalah kesenjangan pendanaan iklim. Negara maju sebelumnya berjanji akan menyediakan 100 miliar dolar per tahun untuk membantu negara berkembang melakukan transisi energi bersih.

Namun hingga kini, jumlah itu belum sepenuhnya terealisasi. Banyak negara berkembang yang masih berjuang mencari dana untuk membangun proyek pembangkit tenaga surya, infrastruktur listrik bersih, dan sistem adaptasi bencana.

Tanpa bantuan finansial yang memadai, banyak negara di kawasan Afrika, Asia Tenggara, dan Amerika Latin sulit mencapai target NDC mereka. Karena itu, UNFCCC menegaskan pentingnya solidaritas global — bahwa tanggung jawab terhadap krisis iklim harus dibagi secara adil, sesuai kemampuan masing-masing negara.


Menuju COP30: Momen Penentuan Arah

Laporan ini juga dirilis menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) yang akan diselenggarakan tahun depan di Brasil. COP30 dianggap sebagai momen krusial untuk meninjau kembali janji dan aksi nyata seluruh negara.

Para pemimpin dunia diharapkan datang dengan rencana implementasi yang lebih konkret, termasuk:

  • Peta jalan untuk menghentikan penggunaan batu bara.

  • Komitmen baru dalam pendanaan energi bersih.

  • Strategi adaptasi untuk menghadapi dampak iklim ekstrem.

  • Mekanisme transparansi agar setiap negara dapat diawasi kemajuannya secara objektif.


Kesimpulan

Laporan terbaru UNFCCC memberikan pesan ganda: harapan dan peringatan.
Harapan, karena ada tanda-tanda positif bahwa pertumbuhan emisi global mulai mendatar dan mungkin akan segera menurun.
Namun juga peringatan, karena langkah yang ada saat ini masih jauh dari cukup untuk menyelamatkan bumi dari krisis iklim yang lebih parah.

Untuk memastikan masa depan yang aman dan berkelanjutan, setiap negara, perusahaan, dan individu harus berperan aktif.
Negara harus menepati janji iklimnya.
Perusahaan harus berinvestasi pada teknologi hijau.
Dan masyarakat perlu mengubah gaya hidup ke arah yang lebih ramah lingkungan — mulai dari penggunaan transportasi publik, pengurangan sampah plastik, hingga efisiensi energi di rumah.

Dengan kerja sama global dan komitmen yang konsisten, penurunan emisi bukan lagi sekadar mimpi. Ia bisa menjadi kenyataan yang menyelamatkan generasi mendatang.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama