Konferensi Perubahan Iklim COP30 tahun ini menjadi salah satu pertemuan paling emosional dan penuh peringatan keras dari berbagai kelompok aktivis lingkungan. Di tengah suasana global yang semakin dipenuhi bencana iklim—dari gelombang panas ekstrem, badai super, hingga hilangnya ekosistem penting—suara para aktivis semakin lantang, bahkan sampai pada pernyataan paling tajam: “Jika kita terus mengekstrak bahan bakar fosil seperti sekarang, kita sedang menggali kuburan sendiri.”
Pernyataan ini bukan hanya sebuah slogan dramatis. Ia merupakan refleksi dari rasa frustrasi yang menumpuk setelah puluhan tahun negosiasi yang berjalan lambat, janji-janji negara maju yang sering tidak ditepati, serta fakta bahwa emisi global masih berada pada tingkat yang jauh dari kata aman. Para aktivis menekankan bahwa dunia tidak sedang berjalan menuju masa depan yang berbahaya—kita sudah berada di dalamnya.
1. Krisis yang Tidak Lagi Teoritis
Selama bertahun-tahun, peringatan mengenai perubahan iklim sering terdengar seperti ancaman masa depan. Namun realitas saat ini membuktikan sebaliknya: krisis tersebut telah berubah menjadi kenyataan sehari-hari. Aktivis yang hadir di COP30 membawa bukti nyata dari lapangan—foto kebakaran hutan di berbagai negara, laporan hilangnya terumbu karang, serta kisah keluarga yang kehilangan rumah akibat badai yang semakin kuat.
Dalam berbagai sesi diskusi, beberapa aktivis menceritakan bagaimana komunitas mereka tidak lagi berbicara tentang “risiko iklim”, tetapi “kerusakan iklim”. Perubahan iklim bukan ancaman yang mendekat; ia adalah kenyataan yang sedang berlangsung.
Mereka menekankan bahwa setiap ton karbon yang dilepaskan ke atmosfer menambah panas yang terjebak di bumi, memperburuk cuaca ekstrem dan menambah tekanan terhadap ekosistem. Ini bukan masalah “nanti”, tetapi sekarang.
2. Akar Masalah: Ketergantungan pada Bahan Bakar Fosil
Salah satu poin yang paling sering ditekankan adalah bahwa akar dari seluruh krisis ini tetap sama: konsumsi bahan bakar fosil yang tidak kunjung berkurang secara signifikan. Meski banyak negara telah mengumumkan target nol emisi bersih, produksi minyak, gas, dan batu bara global justru meningkat di beberapa wilayah.
Aktivis menganggap hal ini sebagai kontradiksi besar.
Di satu sisi, pemerintah berbicara tentang komitmen terhadap energi bersih. Namun di sisi lain, mereka terus memberikan subsidi kepada industri fosil, mengeluarkan izin eksplorasi baru, atau membangun infrastruktur yang akan bertahan selama puluhan tahun ke depan.
Menurut pandangan para aktivis, tindakan semacam ini ibarat memadamkan api dengan bensin—mengklaim bahwa ingin menghentikan krisis, tetapi terus memasok penyebab utamanya.
3. Seruan Keras untuk Melakukan “Phase-Out”, Bukan Sekadar “Phase-Down”
Istilah “phase-down” atau pengurangan secara bertahap sering menjadi bahasa diplomatis dalam negosiasi internasional. Namun bagi aktivis, istilah tersebut dianggap tidak cukup kuat. Yang lebih dibutuhkan, menurut mereka, adalah phase-out—penghentian total bahan bakar fosil secara bertahap tetapi pasti.
Mereka berargumen bahwa pengurangan yang terlalu perlahan hanya akan memperpanjang penderitaan dan mempercepat kehancuran.
Aktivis mengutip kenyataan bahwa beberapa negara masih berinvestasi miliaran dolar pada infrastruktur fosil baru. Padahal, infrastruktur semacam itu memiliki masa pakai puluhan tahun. Jika dibangun hari ini, ia berarti dunia akan terkunci dalam pola emisi tinggi selama beberapa dekade ke depan.
Seruan aktivis sangat jelas: tidak ada jalan keluar dari krisis iklim tanpa mengakhiri bahan bakar fosil.
4. Generasi Muda Mengambil Peran Utama
Salah satu hal yang paling mencolok selama COP30 adalah tingginya partisipasi generasi muda. Banyak dari mereka berusia belasan hingga dua puluhan tahun, tetapi mereka berbicara dengan ketegasan dan keberanian yang membuat banyak pemimpin dunia terdiam.
Generasi muda menyampaikan pesan yang sangat emosional: mereka sedang mewarisi dunia yang semakin rusak akibat keputusan generasi sebelumnya. Mereka merasa tidak adil jika harus menanggung beban kesalahan yang tidak mereka buat.
Dalam sebuah forum, seorang aktivis muda mengatakan:
“Kami tidak meminta sesuatu yang muluk. Kami hanya meminta masa depan tempat kami bisa hidup.”
Kata-kata tersebut menggambarkan betapa nyata dan mendesaknya tuntutan yang mereka suarakan.
5. Sains Mendukung Seruan Mereka
Aktivis bukan hanya berbicara berdasarkan emosi. Mereka membawa serta bukti ilmiah dari berbagai lembaga riset dunia. Banyak ilmuwan yang sekarang berada di sisi aktivis, bahkan ikut turun ke jalan untuk menekan pemerintah.
Model iklim menunjukkan bahwa dunia berada di jalur menuju pemanasan lebih dari 2°C, bahkan dapat mencapai 2,6°C atau lebih jika tidak ada perubahan drastis. Pemanasan sebesar itu dapat memicu keruntuhan ekosistem, kenaikan permukaan laut yang tidak dapat dihentikan, dan risiko bencana yang jauh lebih besar daripada yang terjadi sekarang.
Ilmuwan memperingatkan bahwa ada titik-titik kritis (tipping points) yang, jika dilewati, tidak bisa dipulihkan. Dengan kata lain, beberapa kerusakan akan bersifat permanen.
Ini yang membuat seruan aktivis semakin kuat: kita berada pada jam-jam terakhir sebelum dunia memasuki kondisi yang tidak bisa diperbaiki.
6. Ketidakadilan Iklim: Yang Paling Sedikit Berkontribusi Justru Paling Menderita
Isu yang selalu muncul dalam diskusi iklim adalah ketidakadilan global. Negara-negara yang paling sedikit mengeluarkan emisi justru yang paling terkena dampaknya.
Pulau-pulau kecil menghadapi ancaman tenggelam. Negara berkembang menghadapi gelombang panas yang membunuh ribuan orang. Sementara itu, negara kaya yang selama satu abad terakhir menjadi penyumbang utama emisi global masih memperlambat upaya transisi energi.
Aktivis menekankan bahwa krisis iklim bukan sekadar isu lingkungan, tetapi isu moral.
Menurut mereka, jika tidak ada perubahan drastis dalam keadilan iklim, masa depan akan menjadi dunia yang penuh konflik, ketidakstabilan, kelaparan, dan migrasi paksa.
7. Teknologi dan Solusi Ada, tetapi Kemauan Politik Masih Lemah
Dalam beberapa sesi, aktivis mengingatkan bahwa dunia sebenarnya sudah memiliki solusi: energi terbarukan, kendaraan listrik, teknologi efisiensi energi, hingga pertanian berkelanjutan.
Yang menjadi masalah adalah kurangnya kemauan politik dan ekonomi.
Banyak negara terus bergantung pada industri fosil karena alasan ekonomi jangka pendek, tekanan politik domestik, atau kepentingan korporasi besar. Aktivis menilai bahwa selama keputusan diambil berdasarkan keuntungan jangka pendek, perubahan signifikan tidak akan terjadi.
Mereka menegaskan bahwa keselamatan planet tidak bisa ditawar hanya demi mempertahankan model bisnis lama.
8. Harapan Tetap Ada, Tetapi Waktu Sangat Sedikit
Meskipun nada yang disampaikan para aktivis cenderung keras, bukan berarti mereka kehilangan harapan. Mereka percaya bahwa perubahan masih mungkin terjadi—tetapi hanya jika dilakukan sekarang, bukan nanti.
Beberapa contoh keberhasilan kecil dari berbagai negara menjadi bukti bahwa transisi cepat itu mungkin. Namun mereka juga memperingatkan bahwa keberhasilan kecil itu tidak akan cukup jika tidak didukung tindakan global yang terkoordinasi.
Kata-kata yang paling sering diulang sepanjang konferensi adalah: “Waktu kita hampir habis.”
9. Kesimpulan: Peringatan yang Tidak Boleh Diabaikan
Seruan aktivis di COP30, meskipun terdengar ekstrem, adalah refleksi dari kenyataan yang sudah tidak bisa disangkal. Mereka berbicara atas nama jutaan orang yang hidup di garis depan krisis iklim. Mereka berbicara berdasarkan ilmu pengetahuan yang jelas. Mereka berbicara dengan kejujuran bahwa sebagian pemimpin dunia masih belum berani menyampaikan.
Pernyataan bahwa “kita akan musnah jika terus mengekstrak bahan bakar fosil” bukanlah ancaman yang mengada-ada. Itu adalah gambaran masa depan yang bisa terjadi jika dunia gagal berubah.
Krisis iklim tidak mengenal kompromi. Ia tidak akan menunggu persetujuan politik. Ia tidak peduli negosiasi atau perbedaan pandangan. Ia merespons hanya satu hal: jumlah karbon di atmosfer.
Dan seperti yang diingatkan para aktivis, setiap keputusan hari ini akan menentukan apakah generasi mendatang hidup dalam dunia yang layak, atau dunia yang tidak lagi ramah bagi manusia.