Dalam laporan terbarunya, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menyampaikan bahwa perekonomian global menunjukkan ketahanan yang cukup kuat sepanjang tahun ini. Meskipun dunia menghadapi serangkaian tantangan besar selama beberapa tahun terakhir — mulai dari pandemi, ketegangan geopolitik, hingga volatilitas harga komoditas — perekonomian global ternyata tidak jatuh sedalam yang dikhawatirkan banyak pihak. Namun, di balik ketangguhan tersebut, OECD juga memberi sinyal peringatan penting: bahwa fondasi ekonomi global masih rapuh dan rentan terhadap guncangan eksternal di masa mendatang.
Menurut proyeksi OECD, pertumbuhan ekonomi dunia memang tetap positif, tetapi laju pertumbuhan tersebut mulai menunjukkan tanda-tanda perlambatan. Untuk tahun mendatang, pertumbuhan global diperkirakan bergerak di kisaran 3 persen, lalu turun sedikit pada tahun berikutnya. Angka ini tidak menunjukkan krisis, namun mencerminkan kondisi yang kurang ideal, terutama jika dibandingkan dengan masa sebelum pandemi ketika pertumbuhan global relatif stabil di atas 3,5 persen.
Mengapa Pertumbuhan Melambat? Faktor Utamanya Cukup Kompleks
Ada beberapa alasan mengapa pertumbuhan ekonomi dunia masih berjalan tetapi tidak bisa bergerak lebih cepat. OECD mengidentifikasi sejumlah faktor utama yang menghambat kecepatan pemulihan global.
1. Meningkatnya hambatan perdagangan internasional
Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak negara menerapkan proteksionisme melalui tarif impor atau pembatasan non-tarif lainnya. Langkah ini membuat biaya perdagangan meningkat, menghambat ekspor, mengurangi investasi lintas negara, serta memperlambat integrasi rantai pasok global. Dampaknya: aliran barang menjadi lebih lambat, biaya produksi meningkat, dan daya saing melemah — terutama di sektor manufaktur.
2. Ketidakpastian kebijakan di berbagai negara
Ketidakpastian dari sisi regulasi, kebijakan fiskal, maupun kebijakan moneter membuat dunia usaha enggan mengambil risiko besar. Ketika perusahaan dan investor tidak yakin dengan arah kebijakan, mereka cenderung menahan ekspansi, mengurangi investasi, atau memperlambat pengeluaran modal. Ini menekan pertumbuhan jangka pendek sekaligus melemahkan prospek jangka panjang.
3. Pengetatan sistem keuangan global
Banyak bank sentral masih menerapkan kebijakan moneter ketat untuk menjaga inflasi. Akibatnya, suku bunga tetap tinggi dan biaya pinjaman naik. Situasi ini membuat perusahaan maupun rumah tangga lebih berhati-hati dalam berutang. Selain itu, kredit menjadi lebih sulit diakses oleh bisnis skala kecil dan menengah. Bila kredit melemah, aktivitas ekonomi pun ikut melambat.
4. Melemahnya sentimen bisnis dan konsumen
Walaupun pasar tenaga kerja di banyak negara tetap stabil, dan pendapatan sebagian rumah tangga meningkat, ketidakpastian global menyebabkan masyarakat cenderung berhati-hati dalam berbelanja. Perilaku ini membuat konsumsi — yang menjadi motor utama ekonomi global — tidak bergerak sekuat sebelumnya.
Keempat faktor ini berkontribusi pada perlambatan pertumbuhan di hampir semua kawasan dunia.
Mengapa Dunia Tetap Disebut “Resilien” Walau Melambat?
Meski banyak tantangan muncul, OECD tetap menyebut bahwa ekonomi global menunjukkan ketangguhan luar biasa. Ada beberapa alasan logis mengapa kondisi dunia disebut positif.
1. Banyak negara tetap tumbuh, bukan mengalami kontraksi
Walaupun pertumbuhan tidak tinggi, banyak negara berhasil menghindari resesi teknis. Ini menunjukkan bahwa fondasi ekonomi dasar — seperti konsumsi domestik dan ekspor tertentu — masih cukup kuat untuk menjaga pertumbuhan tetap positif.
2. Inflasi global mulai terkendali
Inflasi sempat menjadi “hantu” terbesar dalam perekonomian setelah pandemi, namun kini di berbagai negara, laju inflasi menunjukkan tren penurunan. Bahkan di beberapa negara, inflasi telah kembali ke target bank sentral. Ini memberi ruang bagi pelonggaran kebijakan moneter di masa mendatang, yang nantinya dapat membantu mempercepat pertumbuhan.
3. Pemulihan pekerjaan relatif stabil
Pasar tenaga kerja di banyak negara tetap kuat. Pengangguran berada pada tingkat yang relatif rendah. Ketika lebih banyak orang bekerja, konsumsi masyarakat pun tidak jatuh, dan hal ini membantu stabilitas ekonomi.
4. Rantai pasokan mulai pulih
Gangguan rantai pasokan yang terjadi beberapa tahun lalu — akibat perang, pandemi, dan faktor global lainnya — perlahan menunjukkan pemulihan. Biaya logistik menurun, waktu pengiriman menjadi lebih normal, dan ini memberi efek positif pada industri manufaktur serta perdagangan internasional.
Semua faktor di atas menegaskan bahwa ekonomi global memiliki kapasitas untuk bertahan — bahkan dalam kondisi yang sulit.
Kerentanan Utama yang Wajib Diwaspadai Dunia
Meski ada ketangguhan, OECD menekankan bahwa fondasi ekonomi dunia masih rapuh. Ada beberapa kerentanan besar yang bisa menjadi pemicu masalah di masa depan.
1. Risiko proteksionisme yang semakin besar
Jika lebih banyak negara meningkatkan tarif atau menerapkan kebijakan protektif lainnya, maka perdagangan dunia dapat terpukul keras. Ini bisa menekan ekspor negara berkembang, memperburuk harga bahan baku, serta menghambat pertumbuhan industri yang bergantung pada impor.
2. Ketidakpastian kebijakan pemerintah
Di banyak negara besar, perubahan kebijakan yang cepat dan tidak konsisten bisa membuat investor khawatir. Ketidakpastian ini berpotensi menahan investasi dalam jumlah besar, dan akhirnya memperlambat pertumbuhan global.
3. Potensi inflasi kembali naik
Walaupun inflasi telah melandai, tekanan harga pada sektor jasa atau energi masih mungkin terjadi. Jika inflasi kembali naik, bank sentral terpaksa mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama — dan ini akan kembali menekan aktivitas ekonomi dunia.
4. Utang publik yang tinggi
Banyak negara mengalami lonjakan utang selama pandemi. Ketika beban bunga meningkat akibat suku bunga tinggi, negara tersebut bisa kekurangan ruang fiskal untuk mengatasi krisis baru atau memberikan stimulus ekonomi.
5. Risiko geopolitik dan gangguan rantai pasokan
Ketegangan antarnegara, bencana alam, dan konflik perdagangan dapat menjadi pemicu disrupsi baru pada rantai pasok elektronik, energi, pangan, dan bahan industri. Jika hal ini terjadi, dampaknya bisa langsung terasa pada harga global.
Dengan kondisi tersebut, OECD menekankan bahwa meski dunia masih bertahan, situasi jauh dari kata aman.
Dampak bagi Negara Berkembang — Termasuk Indonesia
Kondisi yang digambarkan OECD memiliki dampak luas bagi negara-negara berkembang, terutama yang mengandalkan perdagangan global dan investasi asing.
1. Peluang ekspor bisa melemah
Jika permintaan global melemah, negara pengekspor komoditas dan manufaktur — termasuk Indonesia — dapat merasakan penurunan pendapatan ekspor.
2. Arus investasi asing bisa menurun
Ketertarikan investor untuk menanam modal di negara berkembang umumnya turun ketika ketidakpastian global meningkat. Mereka cenderung mencari aset aman.
3. Nilai tukar dapat tertekan
Suku bunga tinggi di negara maju seringkali menyebabkan uang mengalir keluar dari negara berkembang, sehingga menekan nilai mata uang lokal.
4. Peluang reformasi meningkat
Kondisi global yang menantang justru membuka ruang bagi negara berkembang untuk memperkuat struktur ekonominya. Indonesia bisa memanfaatkan momentum ini untuk meningkatkan kualitas investasi, memperbaiki regulasi, dan memperluas industri bernilai tambah.
Kesimpulan: Tetap Tumbuh, Tetap Optimis, Tapi Jangan Lengah
Gambaran OECD tentang ekonomi global pada dasarnya adalah: ada pertumbuhan, ada ketangguhan, tetapi ada pula risiko yang sangat nyata.
Ekonomi global telah membuktikan diri mampu bertahan dari berbagai krisis. Namun fondasi tersebut belum cukup kuat untuk disebut aman dari guncangan berikutnya. Untuk itu, diperlukan koordinasi global, kebijakan domestik yang solid, serta langkah-langkah mitigasi agar dunia dapat menghindari perlambatan lebih jauh.
Dengan kesiapan yang baik, negara-negara — termasuk Indonesia — bisa memanfaatkan peluang sekaligus menekan dampak dari berbagai risiko ekonomi dunia yang terus berubah.