Pulau Paskah, sebuah pulau kecil terpencil di Samudra Pasifik yang terkenal dengan ratusan patung batu raksasa atau Moai, kini menghadapi ancaman serius akibat perubahan iklim global. Sejumlah penelitian terbaru memperingatkan bahwa kenaikan permukaan laut yang dipicu oleh pencairan es di kutub dan pemanasan global dapat menenggelamkan sebagian kawasan pesisir pulau tersebut pada pertengahan hingga akhir abad ini. Ancaman ini berpotensi merusak situs arkeologi yang telah menjadi warisan budaya dunia.
Warisan Dunia yang Terancam
Patung Moai yang berdiri tegak di sepanjang garis pantai Pulau Paskah bukan hanya simbol kebanggaan masyarakat setempat, tetapi juga salah satu ikon arkeologi paling terkenal di dunia. Patung-patung ini dibangun oleh masyarakat Rapa Nui ratusan tahun lalu sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur mereka. Sebagian besar Moai didirikan di atas ahu, yaitu platform batu yang terletak tidak jauh dari bibir pantai. Posisi inilah yang membuat keberadaan Moai sangat rentan terhadap ancaman abrasi, banjir rob, hingga kemungkinan tenggelam akibat naiknya permukaan laut.
Peran Perubahan Iklim
Ilmuwan memperkirakan bahwa kenaikan muka air laut global bisa mencapai lebih dari satu meter pada tahun 2100 jika emisi gas rumah kaca tidak ditekan. Untuk Pulau Paskah, meskipun angka kenaikan mungkin tampak kecil, dampaknya akan sangat besar karena topografi pulau ini relatif rendah di beberapa titik pesisir. Ombak besar, badai tropis, dan intrusi air laut dapat mempercepat kerusakan pada ahu serta Moai yang berdiri di atasnya. Selain itu, proses abrasi alami akan semakin parah ketika dipicu oleh badai yang frekuensinya meningkat akibat perubahan iklim.
Kerusakan yang Sudah Terlihat
Sejumlah laporan lapangan menunjukkan bahwa beberapa situs Moai sudah mulai mengalami kerusakan. Platform batu yang menopang patung-patung ini retak dan terkikis akibat hantaman ombak. Di beberapa lokasi, garis pantai terus bergeser mendekati area bersejarah, membuat patung semakin rentan. Jika tren ini berlanjut, sebagian Moai bisa roboh atau bahkan hilang tersapu laut.
Upaya Perlindungan
Pemerintah Chili bersama masyarakat Rapa Nui dan lembaga internasional tengah merancang strategi mitigasi. Beberapa langkah yang sedang dipertimbangkan antara lain membangun sistem penahan ombak, memperkuat fondasi ahu, hingga memindahkan sebagian Moai yang paling terancam ke lokasi yang lebih aman. Namun, langkah pemindahan ini menimbulkan dilema karena akan mengubah konteks sejarah dan budaya patung yang memang sengaja ditempatkan di dekat laut sebagai simbol spiritual.
Selain solusi fisik, para peneliti juga menekankan pentingnya aksi global dalam mengurangi emisi karbon. Pulau kecil seperti Rapa Nui tidak memiliki kontribusi besar terhadap pemanasan global, namun mereka menjadi pihak yang paling merasakan dampaknya. Oleh sebab itu, keberlangsungan Moai bergantung pada upaya dunia dalam memperlambat laju perubahan iklim.
Simbol Perjuangan Melawan Krisis Iklim
Bagi banyak pihak, ancaman terhadap Moai tidak hanya soal kehilangan artefak bersejarah, tetapi juga simbol nyata bagaimana warisan budaya manusia bisa musnah akibat kelalaian dalam menjaga bumi. Jika patung-patung setinggi enam hingga sepuluh meter ini sampai hilang, dunia akan kehilangan salah satu jejak peradaban yang tak ternilai.
Pulau Paskah dan Moai kini menjadi pengingat keras bahwa perubahan iklim bukan sekadar isu lingkungan, tetapi juga ancaman bagi identitas budaya dan sejarah manusia. Melindungi Moai berarti melindungi memori kolektif umat manusia yang diwariskan dari generasi ke generasi.