Ketika dunia berlari mengejar target net-zero emisi pada pertengahan abad ini, sebagian besar perhatian global masih tertuju pada sektor energi, transportasi, dan industri berat. Padahal, ada satu bidang yang tak kalah besar kontribusinya terhadap perubahan iklim: sistem pangan dunia. Mulai dari proses penanaman, peternakan, distribusi, hingga konsumsi makanan, setiap tahap rantai pasok pangan menghasilkan gas rumah kaca (GRK) dalam jumlah yang tidak bisa dianggap sepele.
Sebuah laporan ilmiah terbaru mengungkapkan kenyataan yang sulit diterima: produksi pangan tidak akan pernah sepenuhnya bebas dari emisi karbon, bahkan dengan teknologi paling efisien sekalipun. Dalam skenario terbaik, pertanian dan peternakan global masih akan menyumbang sekitar 5 miliar ton emisi karbon dioksida (CO₂) setiap tahun pada 2050. Artinya, sektor lain harus menanggung tanggung jawab lebih besar untuk menyeimbangkan angka tersebut agar dunia tetap berada di jalur pencapaian target iklim global.
Mengapa Pangan Menjadi Sumber Emisi?
Sektor pangan merupakan gabungan dari banyak aktivitas kompleks. Setiap proses — mulai dari membuka lahan pertanian, menanam tanaman, memelihara ternak, mengangkut bahan makanan, hingga membuang sisa makanan — memerlukan energi dan menghasilkan emisi.
Sumber utama emisi dalam sistem pangan global dapat dibagi menjadi tiga kategori besar:
-
Pertanian dan Peternakan
Produksi tanaman pangan membutuhkan pupuk sintetis yang mengandung nitrogen. Saat digunakan di lahan, pupuk ini melepaskan gas dinitrogen oksida (N₂O), yang memiliki efek pemanasan 300 kali lebih kuat dibanding CO₂. Sementara itu, peternakan — terutama sapi, kambing, dan domba — menghasilkan metana (CH₄) dari proses pencernaan alami yang disebut fermentasi enterik. Metana juga termasuk gas rumah kaca yang sangat kuat meskipun masa hidupnya lebih pendek dari CO₂. -
Perubahan Penggunaan Lahan
Pembukaan hutan untuk lahan pertanian atau padang penggembalaan menjadi salah satu penyumbang besar emisi karbon. Pohon-pohon yang ditebang melepaskan karbon yang sebelumnya tersimpan di biomassa ke atmosfer. Deforestasi ini juga memperburuk hilangnya keanekaragaman hayati dan kemampuan bumi menyerap karbon. -
Distribusi dan Konsumsi
Setelah makanan diproduksi, energi tambahan dibutuhkan untuk mengolah, mendinginkan, mengangkut, dan menjual produk tersebut. Banyak negara yang masih mengandalkan bahan bakar fosil untuk transportasi pangan. Selain itu, limbah makanan yang membusuk di tempat pembuangan sampah menghasilkan metana, memperparah emisi dari sektor ini.
Tantangan Menuju Produksi Pangan Berkelanjutan
Meskipun banyak inovasi dilakukan untuk menekan emisi, seperti penggunaan pupuk ramah lingkungan, teknologi irigasi hemat air, dan sistem peternakan rendah metana, sektor pangan memiliki keterbatasan alami yang sulit dihilangkan sepenuhnya.
Tanaman tetap membutuhkan nitrogen untuk tumbuh. Hewan ternak, bagaimana pun juga, tetap menghasilkan metana selama proses pencernaan. Dan manusia tetap memerlukan sumber kalori yang cukup untuk bertahan hidup. Dengan kata lain, akan selalu ada jejak karbon dari setiap makanan yang kita makan.
Selain faktor biologis, tantangan lain muncul dari aspek sosial dan ekonomi. Permintaan makanan terus meningkat seiring pertumbuhan populasi dunia yang diperkirakan mencapai hampir 10 miliar jiwa pada 2050. Meningkatnya kelas menengah di banyak negara berkembang juga mendorong konsumsi daging, susu, dan produk olahan lainnya yang cenderung menghasilkan emisi lebih besar dibanding pangan nabati.
Dalam konteks ini, sistem pangan global dihadapkan pada dilema besar: bagaimana memberi makan miliaran orang tanpa memperparah pemanasan global?
Upaya dan Inovasi untuk Mengurangi Emisi Pangan
Meskipun tak mungkin mencapai nol emisi total, para ilmuwan dan pembuat kebijakan tetap berusaha mencari cara terbaik untuk menurunkan jejak karbon dari sektor pangan. Beberapa pendekatan yang sedang dikembangkan antara lain:
-
Pertanian Regeneratif
Konsep ini menekankan pada cara bercocok tanam yang memulihkan kesuburan tanah dan meningkatkan penyerapan karbon. Petani menggunakan teknik seperti rotasi tanaman, kompos alami, dan pengelolaan lahan tanpa pembajakan berat untuk menjaga keseimbangan ekosistem tanah. -
Pakan Inovatif untuk Hewan Ternak
Penelitian terbaru menemukan bahwa menambahkan rumput laut merah (Asparagopsis taxiformis) ke dalam pakan sapi dapat menurunkan emisi metana hingga 80%. Teknologi pakan rendah metana menjadi solusi potensial dalam menekan kontribusi peternakan terhadap perubahan iklim. -
Daging dan Susu Alternatif
Daging nabati (plant-based meat) dan daging hasil kultur sel (lab-grown meat) mulai menarik perhatian global. Produk ini diklaim memiliki jejak karbon yang jauh lebih rendah dibanding daging konvensional, sekaligus mengurangi kebutuhan akan lahan dan air. -
Manajemen Limbah Makanan
Sekitar sepertiga makanan di dunia terbuang sebelum dikonsumsi. Mengurangi limbah makanan adalah langkah sederhana namun berdampak besar. Banyak negara kini memperkenalkan sistem pengomposan dan pengumpulan sisa makanan untuk diubah menjadi biogas atau pupuk organik. -
Pemanfaatan Energi Terbarukan di Pertanian
Penggunaan panel surya, biogas, dan teknologi efisiensi energi di area pertanian dapat menekan penggunaan bahan bakar fosil. Di beberapa negara, sistem irigasi bertenaga surya telah mengurangi emisi sekaligus menurunkan biaya produksi.
Peran Konsumen dalam Mengurangi Emisi
Perubahan besar tidak hanya bisa datang dari industri dan kebijakan pemerintah. Gaya hidup individu juga memiliki dampak yang signifikan terhadap jejak karbon global. Pilihan makanan sehari-hari — seberapa sering kita makan daging, bagaimana kita mengelola sisa makanan, dan dari mana bahan makanan kita berasal — semuanya berpengaruh terhadap total emisi dunia.
Berbagai studi menunjukkan bahwa mengurangi konsumsi daging merah dan menggantinya dengan protein nabati seperti kacang, tempe, atau tahu dapat menurunkan emisi pribadi hingga 30%. Selain itu, membeli produk lokal dan musiman membantu mengurangi kebutuhan transportasi jarak jauh yang biasanya menghasilkan emisi tambahan.
Konsumen juga bisa berperan melalui kesadaran akan food waste. Menyimpan makanan dengan benar, menghabiskan sisa makanan, atau mendaur ulang sisa organik menjadi kompos dapat membantu mengurangi gas metana yang dihasilkan dari tempat pembuangan sampah.
Tanggung Jawab Global dan Masa Depan Sistem Pangan
Laporan ilmiah internasional menekankan bahwa keberlanjutan sistem pangan harus menjadi bagian integral dari kebijakan iklim global. Tidak cukup hanya fokus pada sektor energi atau industri, sebab pangan adalah kebutuhan mendasar yang tak bisa dihapus dari peradaban manusia.
Negara-negara maju memiliki tanggung jawab lebih besar karena tingkat konsumsi mereka jauh lebih tinggi dibanding negara berkembang. Namun, negara berkembang juga menghadapi tantangan unik, seperti keterbatasan teknologi, kurangnya infrastruktur pertanian hijau, dan tekanan ekonomi untuk meningkatkan produksi.
Solusi ideal bukan hanya tentang mengurangi emisi, tetapi juga memastikan keamanan pangan global, keadilan ekonomi bagi petani, dan kelestarian lingkungan jangka panjang. Sistem pangan masa depan perlu menggabungkan inovasi teknologi dengan nilai kemanusiaan — seperti efisiensi sumber daya, kesejahteraan petani, dan keterjangkauan harga bagi masyarakat luas.
Kesimpulan
Mewujudkan dunia tanpa emisi mungkin terdengar seperti cita-cita besar, namun untuk sektor pangan, hal itu masih di luar jangkauan. Alam memiliki batas biologisnya sendiri. Namun, fakta bahwa sistem pangan tidak bisa sepenuhnya bebas emisi bukan alasan untuk berhenti berusaha.
Dengan kombinasi teknologi baru, perubahan kebijakan, dan kesadaran masyarakat global, sektor pangan dapat berkontribusi besar dalam menekan laju pemanasan global. Makanan yang kita pilih, cara kita menanam, serta bagaimana kita menghargai setiap butir beras di piring, semuanya merupakan bagian dari solusi iklim dunia.
Pada akhirnya, tantangan terbesar umat manusia bukan hanya bagaimana memberi makan dunia, tetapi bagaimana memberi makan dunia tanpa merusak planet yang menjadi rumah kita bersama.