Konferensi Perubahan Iklim COP30 kembali menjadi panggung besar bagi diskusi global tentang masa depan bumi. Namun, di luar ruang-ruang sidang resmi yang dipenuhi diplomat, menteri, dan negosiator berjas rapi, ada satu kekuatan yang semakin mencuri perhatian dunia: barisan anak muda. Di tengah panasnya kota Belém, Brasil—tuan rumah COP30—ribuan aktivis muda dari berbagai negara berkumpul dengan membawa pesan yang sama: masa depan mereka terancam, dan waktu untuk bertindak semakin menipis.
Suara mereka bukan lagi bisikan yang mudah diabaikan. Mereka datang membawa poster, mural, simbol budaya masing-masing, dan—yang lebih penting—ketegasan untuk menuntut perubahan. Mereka tidak meminta, tetapi mendesak agar para pemimpin dunia mengambil langkah nyata untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap namun cepat (fase-out), memastikan transisi energi yang adil, dan menempatkan keselamatan generasi mendatang sebagai prioritas.
Generasi yang Tumbuh Dengan Krisis Iklim
Berbeda dengan generasi sebelumnya, anak muda masa kini tumbuh dalam dunia yang sudah merasakan dampak nyata perubahan iklim. Mereka menyaksikan banjir bandang di kota yang sebelumnya jarang tergenang, gelombang panas ekstrem yang memecahkan rekor setiap tahun, kabut asap yang menutup langit selama berminggu-minggu, hingga kebakaran hutan yang merusak ribuan hektare lahan. Bagi mereka, perubahan iklim bukan konsep ilmiah yang jauh, melainkan kenyataan sehari-hari.
Inilah alasan mengapa suara mereka begitu lantang di COP30. Mereka sudah merasakan langsung apa yang diperingatkan para ilmuwan selama puluhan tahun. Ketika para pemimpin dunia membahas angka-angka, target persentase, atau tahun komitmen, generasi muda membahas masa depan mereka sendiri—apakah mereka masih bisa hidup nyaman, membangun keluarga, atau bahkan tinggal di daerah asal mereka dalam beberapa dekade ke depan.
Pesan Utama Gerakan Anak Muda di COP30
Gerakan anak muda yang memadati area konferensi membawa tiga tuntutan besar:
1. Fase-Out Bahan Bakar Fosil yang Jelas dan Terikat Waktu
Para aktivis muda menekankan bahwa penggunaan bahan bakar fosil—minyak, gas, dan batu bara—adalah akar utama krisis iklim. Bagi mereka, dunia tidak membutuhkan lebih banyak “komitmen sukarela” atau “janji jangka panjang” yang seringkali tidak dijalankan. Mereka menginginkan:
-
tenggat waktu global untuk menghentikan ekstraksi dan pembakaran fosil,
-
penghentian pembukaan proyek baru terkait energi kotor,
-
serta peralihan besar-besaran ke energi terbarukan yang benar-benar berkelanjutan.
Tuntutan ini terdengar ambisius, tetapi dari perspektif anak muda, itu justru minimal yang bisa dilakukan jika dunia ingin bertahan dari kerusakan iklim di masa depan.
2. Transisi Energi yang Adil
Generasi muda memahami bahwa peralihan dari energi fosil tidak boleh mengorbankan masyarakat tertentu, terutama komunitas miskin, kelompok rentan, atau mereka yang menggantungkan hidup pada sektor energi lama. Karena itu mereka menekankan perlunya:
-
bantuan finansial untuk negara berkembang,
-
pelatihan ulang pekerja industri fosil agar dapat pindah ke sektor energi bersih,
-
perlindungan hak masyarakat adat yang sering terdampak langsung oleh proyek ekstraktif,
-
dan jaminan bahwa energi hijau tidak menciptakan bentuk ketidakadilan baru.
Konsep “transisi yang adil” ini menjadi sangat penting agar perubahan menuju energi bersih dapat dilakukan tanpa menciptakan ketimpangan sosial.
3. Keberanian Politisi untuk Melawan Tekanan Industri Fosil
Anak muda yang berkumpul di COP30 menilai bahwa salah satu hambatan terbesar melawan perubahan iklim adalah pengaruh kuat perusahaan minyak dan gas yang seringkali hadir dalam konferensi internasional. Mereka menuntut transparansi, pengurangan pengaruh lobi industri fosil, dan kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat, bukan pada keuntungan korporasi.
Aksi Simbolik yang Penuh Makna
Dalam berbagai momen sepanjang konferensi, anak muda menyampaikan pesan mereka melalui cara-cara simbolik yang kreatif dan menggugah perhatian. Ada yang membawa replika “jam hitung mundur bumi”, menandakan waktu yang tersisa sebelum kerusakan iklim mencapai titik tidak bisa kembali. Ada pula yang menampilkan tarian adat untuk mewakili budaya yang terancam punah akibat penggundulan hutan dan kenaikan suhu ekstrem.
Di salah satu aksi terbesar, ribuan orang membentangkan spanduk raksasa bertuliskan pesan yang sederhana namun kuat: “Our Future Is Being Burnt Down”—masa depan kami sedang dibakar.
Pesan ini mengacu pada dua hal: pertama, kebakaran hutan yang meningkat drastis dalam beberapa tahun terakhir; kedua, fakta bahwa pembakaran bahan bakar fosil secara terus-menerus membuat bumi semakin panas.
Mengapa Suara Anak Muda Penting?
Dalam konteks diplomasi global, suara anak muda sering dianggap “emosional” atau “berlebihan”. Namun, justru itulah esensi gerakan mereka: mereka berbicara dari perspektif moral dan realitas masa depan, bukan sekadar hitungan ekonomi jangka pendek.
Banyak dari mereka akan hidup hingga tahun 2070, 2080, bahkan 2100—masa depan yang mungkin tidak akan dialami oleh sebagian besar politisi yang membuat keputusan hari ini. Karena itu, mereka merasa berkewajiban untuk memastikan bahwa keputusan saat ini aman bagi mereka dan generasi berikutnya.
Selain itu, gerakan anak muda telah terbukti menjadi katalis perubahan global. Gelombang demonstrasi sekolah oleh Greta Thunberg beberapa tahun lalu menginspirasi jutaan siswa di seluruh dunia dan memaksa banyak negara untuk memperbarui komitmen iklim mereka. Kini, di COP30, suara anak muda tidak hanya menjadi simbol, tetapi juga kekuatan politik dan sosial yang semakin tidak bisa diabaikan.
Harapan dan Tantangan ke Depan
Meski gerakan mereka kuat, tantangan yang dihadapi tidaklah kecil. Banyak negara masih sangat bergantung pada energi fosil. Beberapa perusahaan energi besar bahkan melaporkan keuntungan terbesar mereka saat krisis energi global, membuat insentif untuk beralih ke energi bersih menjadi lebih rumit secara ekonomi.
Namun, anak muda tidak menyerah. Mereka percaya bahwa transisi besar selalu dimulai dari tekanan moral dan sosial yang konsisten. Dengan semakin banyaknya dukungan dari ilmuwan, organisasi internasional, seniman, tokoh masyarakat, dan media, gerakan mereka semakin kuat setiap tahun.
COP30 mungkin bukan akhir dari perjuangan, tetapi jelas menjadi salah satu titik penting dalam sejarah pergerakan muda melawan krisis iklim.
Kesimpulan: Suara Generasi yang Berani
Aksi anak muda di COP30 menunjukkan bahwa dunia sedang memasuki era baru—era di mana generasi muda berdiri di garis depan perjuangan untuk menyelamatkan planet ini. Mereka tidak datang untuk meminta belas kasih, tetapi untuk menuntut tanggung jawab dari para pemimpin yang memiliki kekuasaan untuk mengubah arah dunia.
Pesan mereka jelas:
jangan tunda lagi, hentikan bahan bakar fosil, transisi harus adil, dan masa depan harus dilindungi.
Gerakan ini bukan sekadar protes; ini adalah panggilan global dari generasi yang tidak takut untuk memperjuangkan bumi yang layak untuk dihuni.